Seminar Nasional Ekonomi, Manajemen, Akuntansi, dan Call for Paper (SENMEA ) pada tahun 2018 ini mengambil tema “Resiliensi Industri di Era Disruption 4.0”.
Sejarah mencatat bahwa dunia telah mengalami 4 era revolusi industri. Revolusi industri ke 1 terjadi pada abad ke 18, yang ditandai dengan munculnya mesin-mesin bertenaga air dan uap untuk menggantikan tenaga manusia. Revolusi industri ke 2 terjadi pada abad ke 19 ditandai dengan munculnya tenaga listrik untuk menggantikan tenaga uap dan air, sehingga produksi lebih efisien. Revolusi industrike 3 terjadi pada abad ke 20 yang ditandai dengan diketemukannya barang-barang elektronik, komputer, perangkat lunak, sehingga operasi produksi dapat dijalankan secara sistem yang menjadikan biaya produksi lebih efektif dan efisen. Revolusi industri ke 4 lebih menekankan kepada kemampuan kecerdasan buatan yang mampu menggerakkan robot-robot yang “lebih pintar" dan "tidak pernah mengeluh", sehingga banyak pekerjaan yang dikerjakan tenaga manusia digantikan dengan yang lebih murah, efisien dan berkualitas lebih tinggi.
Resiliensi atau kemampuan beradaptasi di era disrupsi 4.0 sangat dibutuhkan oleh dunia usaha, baik yang bergerak di bidang jasa, perdagangan maupun industri, termasuk bidang pendidikan. Fenomena disrupsi, yaitu situasi di mana pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear. perubahannya sangat cepat, pola tatanan lama dengan cepatnya ditinggalkan dengan terciptanya tatanan baru, sehingga pada era ini, hanya ada dua pilihan bagi pelaku usaha, yaitu berubah atau punah.
Hadirnya startup seperti Go-Jek dan Grap adalah sebagai bukti bahwa revolusi industri 4.0 sudah merambah di Indonesia. Hadirnya grap dan gojek terbukti memudahkan masyarakat, karena bisa memesan transportasi ataupun makanan hanya lewat ponsel dalam genggamannya. Namun demikian di sisi lain memngurangi omzet ojek dan taksi tradisional. Demikian pula dengan hadirnya Bukalapak, Shopee, Tokopedia, masyarakat dapat berbelanja segala kebutuhannya hanya dengan menggerakkan jari-jari tangan.
Yang menjadi tantangan adalah sudahkan bangsa Indonesia, para pengusaha, birokrasi dan akademisi yang hidup di era melenia ini mampu beradaptasi dengan perubahan yang sedemikian cepat, atau tetap berpegang teguh pada jargon “alon-alon asal klakon”. Apakah revolusi industri 4.0akan membuat pengangguran makin massif, atau justru sebaliknya memunculkan peluang usaha baru? Barangkali inilah sebagaian yang perlu didiskusikan pada seminar ini.